Buton Utara, Radarsultra.co – Sejak menjadi daerah otonomi baru, status ibu kota di Kabupaten Buton Utara masih menjadi polemik.
Saat ini, ibu kota secara administratif tercatat sebagai Buranga, tetapi kenyataannya pusat pemerintahan dan pembangunan berada di Ereke, Kecamatan Kulisusu.
Menyoroti hal tersebt, mantan Bupati Buton Utara, Abu Hasan, menekankan pentingnya kejelasan status ibu kota agar tidak terjadi ketidakpastian di masa depan.
Ia menilai bahwa generasi mendatang membutuhkan kepastian sejarah untuk membangun identitas daerah.
Menurutnya, keputusan mengenai lokasi ibu kota harus segera diprioritaskan pada masa pemerintahan Bupati saat ini.
“Sejak kita menjadi daerah otonomi baru, status ibu kota sampai hari ini masih dalam polemik. Walaupun dinamikanya sudah mulai melandai, hampir tidak ada lagi yang mempersoalkan itu. Tapi ibu kota ini tidak boleh begitu terus-menerus,” ujar Abu Hasan di Kendari, Sabtu, (11/1/2025).
Abu Hasan berpendapat bahwa mempertahankan Buranga sebagai ibu kota akan menimbulkan persoalan anggaran, mengingat hampir seluruh fasilitas pemerintahan telah dibangun di Ereke menggunakan dana APBD.
Jika pemerintah memindahkan kembali fasilitas tersebut ke Buranga, hal ini akan berisiko dianggap sebagai pengeluaran ganda (double budget) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Namanya Buranga, tapi faktanya di Kulisusu. Harus dipastikan bahwa ibu kota itu mau tetap kita di Buranga atau di Kulisusu,” jelasnya.
Abu Hasan juga menyarankan agar pemerintah daerah segera mengambil keputusan untuk memastikan posisi Ibu Kota Kabupaten Buton Utara saat ini.
“Kalau saya lebih cenderung Bupati terpilih hari ini mengupayakan supaya ibu kota itu dipastikan di Kulisusu karena pusat pemerintahan dan pembangunan sekarang ada di Kulisusu, tanpa mengesampingkan penghargaan kita terhadap keluarga kita yang di Buranga dan sekitarnya,” katanya.
Sementara itu, Tokoh Masyarakat Buton Utara, La Sirama, menyatakan bahwa meskipun dalam undang-undang ibu kota adalah Buranga, praktik pemerintahan telah berjalan di Ereke.
Ia mengusulkan agar pemerintah daerah bersama masyarakat segera memperjuangkan perubahan status ibu kota melalui mekanisme formal, seperti peraturan pemerintah atau revisi undang-undang.
“Memang sekarang fakta dalam undang-undang ibu kota itu Buranga, tapi dalam praktik dilaksanakan di Ereke. Itu dalam jangka panjang kurang baik bahkan tidak baik,” ungkapnya.
La Sirama mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh masyarakat perlu bersatu untuk mendukung Ereke sebagai ibu kota.
Ia juga menyarankan Bupati mengumpulkan pernyataan dukungan dari desa dan kecamatan di wilayah Buton Utara untuk diajukan ke DPR RI. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat pengesahan Ereke sebagai ibu kota yang diakui secara resmi.
“Saya lah yang memperjuangkan sehingga Buranga itu menjadi ibu kota dalam undang-undang. Tapi sekarang, saya mengatakan maaf, yang benar itu adalah ibu kota ada di Ereke. Bagaimana caranya diperjuangkan? Tentu Bupati ada cara yang bisa dia lakukan, misalnya meminta pernyataan dari seluruh desa dan camat bahwa mereka mendukung Ereke sebagai ibu kota, kemudian diajukan ke DPR RI dan pemerintah pusat untuk menerbitkan peraturan pemerintah,” jelasnya.
La Sirama menegaskan perlunya ketegasan dari pemerintah daerah dalam persoalan ibu kota Kabupaten Buton Utara.
Hingga saat ini, keputusan final mengenai status ibu kota Buton Utara masih ditunggu. Polemik ini diharapkan dapat segera terselesaikan demi keberlanjutan pembangunan dan stabilitas pemerintahan di kabupaten tersebut.
“Harus seperti itu, dan memang Bupati harus berjuang,” tegasnya.*